SEJARAH BANK INDONESIA
Secara hukum, Bank Indonesia
memiliki kedudukan sebagai suatu lembaga negara independen dan bebas dari
campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Hal ini berlaku sejak
disahkannya undang-undang tentang Bank Indonesia yang ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang dinyatakan berlaku pada
sejak 17 Mei 1999.
Makna independensi pada status Bank
Indonesia adalah bahwa Bank Indonesia memiliki otonomi penuh dalam merumuskan
dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Artinya, pihak luar tidak dibenarkan mencampuri
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga memiliki kewajiban
untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak
manapun juga.
Untuk lebih menjamin independensi
tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank
Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga
negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga
Tinggi Negara. Akan tetapi, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan
Departemen sebab kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Sejarah
Bank Indonesia memiliki dinamika yang cukup signifikan pada perkembangannya.[1]
Sebelum
kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah
terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam
meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam
maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai
standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu
pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak
jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan
tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong
munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya
pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan
industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan
ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu
tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga
perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian
secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England
(1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.
Ramainya
perdagangan di Asia pada abad ke-15 telah menjadi daya tarik yang
mengantarkan
kehadiran ekspedisi perdagangan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Terlebih lagi
setelah tumbuhnya berbagai kota pelabuhan emporium di sepanjang
jalur
perniagaan laut, diantaranya adalah Malaka. Kedatangan bangsa Barat turut
memperbanyak
jenis mata uang yang beredar di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut
menyebabkan
peranan mata uang lokal semakin terdesak karena beredar tanpa
aturan dan
kontrol yang jelas. Uang kepeng Cina, Cassie, mendominasi Jawa dan
Real
Spanyol muncul sebagai mata uang barat yang paling digemari secara luas.
Pada 1511
Portugis berhasil menguasai Malaka dan terus bergerak ke arah timur
menuju sumber
rempah-rempah di Maluku. Disana mereka menghadapi bangsa
Spanyol yang
datang melalui Filipina. Kemudian bangsa Belanda dengan diperkuat
armada
tentaranya juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan
di Jawa dan
Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun
perusahan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan
kekuasaanya di
Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah
aktifitas
perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening
dan kemudian
berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752.
Bank
van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada
akhir abad ke-
18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka
kekuasaan VOC
di Nusantara diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah
masa
pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh
ke tangan Inggris. Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk
memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama,
karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan
Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali
kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda
(Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang
terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai
perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus
menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank
pada 1828.[2]
DJB
berdasarkan Oktroi I – VIII (1828 – 1922)
Gagasan
pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia
Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada
saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak
didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun
demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I
menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9
Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu,
atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat
kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB.
Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph
Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang
oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828
dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte
pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de
Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi
merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB
pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837
dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB
melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di
Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah
menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB
dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir
hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB
banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah
kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan
berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai
dengan 31 Maret 1922.
Periode
De Javasche Bankwet 1922 (1922 – 1942)
Pada 31 Maret
1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian
diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930.
Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi
kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15
tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada
pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode
DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain
itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur
pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan
oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB
terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris,
bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode
ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung,
Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja,
Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta
kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai
landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1
Juli 1953.[3]
DJB
Periode Pendudukan Jepang (1942 – 1945)
Pecahnya Perang
Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang
segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara.
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha
Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika
Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah
menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa
penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942,
diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran
kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang
untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura
untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di
Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan
tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank
Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah
ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank
sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan
tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak
di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai
pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4
milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai
yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945,
juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari
uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri
dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret
1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar
delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan
memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
DJB
Periode Revolusi (1945 – 1950)
Setelah Jepang
menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal
Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank
Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan
ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda
kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah
Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan
pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).
Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan
menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko.
Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah
yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring
dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara
itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat
Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara
Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan
terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi.
Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini
ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai
bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia
sebagai bank pembangunan.[4]
Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag,Belanda tahun 1949, boleh dikatakan
tonggak sejarah berdirinyaBank Sentral di Indonesia. Salah satu keputusan
penting KMB adalahmenunjuk De Javasche Bank sebagai Bank sentral. De Javache
Bankadalah bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah Kolonial HindiaBelanda
yang sudah berdiri sejak tahun 1828.Dalam UUDS Republik Indonesia artikel 110
disebutkan :
·
Ada satu Bank
Sentral untuk Indonesia.
·
Penunjukan Bank
Sentral dan mengenai susunan sertawewenangnya diatur dalam UU.
Pada tanggal 11
Oktober 1827 De Javasche Bank didirikandengan modal pertama satu juta Gulden. Uang
ini disetor oleh Pemerintah Hindia Belanda bersama “De Nedherlandsche Handel Maatschaappi”
(NHM). Dengan berdirinya De Javasche Bank makauang yang semula diedarkan oleh
pemerintah dialihkan ke tangan De Javasche Bank. Bank ini memperoleh monopoli
mengedarkan uang kertas. Tugas – tugas yang dilekukan oleh De Javasche Bank
ialah :
·
Mengeluarkan
dan mengedarkan uang kertas.
·
Mendiskonto wesel,
surat utang jangka pendek, obligasinegara, dsb.
·
Menjadi kasir
dari pemeritah.
·
Menyimpan dan
menguasai dana – dana devisa.[5]
Periode
Pengakuan Kedaulatan RI hingga Nasionalisasi DJB (1950 – 1953)
Pada Desember
1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De
Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada
tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB
tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah
mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi
perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai
bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Indonesia.
Pada 19 Juni
1951 pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi DJB yang akan
mengkaji usulan
langkah nasionalisasi, menyusun RUU nasionalisasi dan sekaligus
merancang
undang-undang bank sentral. Selanjutnya pada 15 Desember 1951
diumumkan
undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi DJB.
Nasionalisasi
dilaksanakan melalui pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9 juta
Gulden. Setelah
itu Rancangan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia diajukan ke
parlemen pada
September 1952. RUU tersebut kemudian disetujui oleh parlemen
pada 10 April
1953, disahkan oleh Presiden pada 29 Mei 1953 dan akhirnya
dinyatakan
mulai berlaku sejak 1 Juli 1953. Sejak saat itu bangsa Indonesia telah
memiliki sebuah
lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum
berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran
berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara
pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi
cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini,
pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui
pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif
dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana
kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah
melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat,
pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik
Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama berlaku
sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti
dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang mata
uang 1951.[6]
Kelembagaan
Bank Indonesia
Ketika pertama
kali dibentuk , Bank Indonesia adalah lembaga yang non-independen . Hal itu
ditunjukan dengan kepemimpinan BI yang terdiri dari dewan moneter , direksi dan
dewan penasehat . Dewan moneter beranggotakan diantaranya Menteri Keuangan ,
Menteri Perekonomian dan Gubernur itu sendiri . Tugas dewan moneter adalah
menetapkan kebijakan – kebijakan moneter dan memberi petunjuk kepada direksi
mengenai penetapan tarif bank . Sebenarnya , ketika itu gubernur pertama Bank
Indonesia , Syafrudin Perwiranegara mengusulkan penghapusan dewan moneter .
Beliau tidak sependapat bahwa dengan adanya keberadaan dewan moneter dalam
jajaran pemerintahan Bank Indonesia hanya akan menjadikan batas organisatoris
antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi tidak jelas . Menurutnya , untuk
menjembatani antara kepentingan pemerintah dan bank sentral harus dibentuk
dewan koordinasi yang anggotanya wakil pemerintah ditambah dengan wakil direksi
bank . Dengan demikian pemerintah tidak dapat terlalu jauh mengintervensi bank
sentral dan tidak terlalu independen dari pemerintah . Tapi ternyata format itu
tidak pernah terwujud dan Bank Indonesia tetap dipertahankan sebagaimana dalam
UU.no 11 / 1953 tentang penetapan undang-undang pokok Bank Indonesia .[7]
Sejarah Bank
Indonesia di Bidang Moneter Periode 1997 – 1999
Sejak Juli
1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi
dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan
likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB).
Sebagai
lender of
the last resort
BI harus membantu mempertahankan kestabilan
sistem perbankan dan pembayaran untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi
nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam, pemerintah melakukan tindakan
pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan
dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan anggaran
Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang
melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank
kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan
kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun. Maka terjadi penarikan
dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan
likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya sistem pembayaran terancam
macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997,
pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan krisis di Indonesia.
Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan
krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin pembayaran kembali
kepada para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai
Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan
pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan
jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena
kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program
stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan
LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7
bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan
Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang
mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman
Sosial (JPS). Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu
menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah
membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang menghasilkan
kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang luar
negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (
Indonesian
Restructuring Assets
) yang
bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada
jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa
Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal
baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai
bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.[8]
Sejarah
Perbankan Bank Indonesia
Bank Sentral di
Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan
lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche
Bank yang di nasionalkan pada tahun 1951.
Bank Rakyat
Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini
berasal dari De Algemene Volkskrediet Bank, kemudian dilebur setelah menjadi
bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di
bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
Yang membidangi
rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
Yang membidangi
Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
Bank Negara
Indonesia (BNI '46)
Bank ini
menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara
Indonesia '46.
Bank Dagang
Negara(BDN)
BDN berasal
dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun
PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968
menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah
yangberada di luar Bank Negara Indonesia Unit.
Bank Bumi Daya
(BBD)
BBD semula
berasal dari Nederlandsch Indische Handelsbank, kemudian menjadi Nationale
Handelsbank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan
berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
Bank
Pembangunan Indonesia (Bapindo)
Bank
Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini
didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun
1962.
Bank Tabungan
Negara (BTN)
BTN berasal
dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950.
Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank
Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
Bank Mandiri
Bank Mandiri
merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN),
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank
Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.Jasa bank
sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara.[butuh rujukan] Jasa
perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan.[butuh rujukan] Pertama, sebagai
penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah.[butuh
rujukan] Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit.[butuh
rujukan] Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan
ekonomi.[butuh rujukan] Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien
ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan
waktu.
Kedua, dengan
menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan
dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang
lebih produktif. Bila peran ini berjalan
dengan baik, ekonomi suatu negara akan menngkat. Tanpa adanya arus dana ini,
uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan
bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman[9]
Menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk
menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan
kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu
didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan
hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang
bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya
adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah
lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter,
bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI
juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan
pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting
secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu
menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu
masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem
kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga
adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat
pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga
memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal
kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN ini.
Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga
menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat
menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak
menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil
contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya
bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk lembaga
yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti
menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola
(governance) SPN.
Di sisi alat
pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan
memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan
mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi
kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis
pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean
money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan
pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari
pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan
pemusnahan uang.
Sebelum
melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan agar
uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan
masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi
perencanaan pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan,
nilai intrinsik serta masa edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan
terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang yang akan dicetak selama satu
tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian dilakukan pengadaan
uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin terhadap
uang emisi lama yang telah dikeluarkan.
Uang Rupiah
yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di seluruh
wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank
Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran
dan penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan
melalui sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur
distribusi senantiasa dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun
dengan peningkatan sarana sistem monitoring.
Kegiatan
pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum maupun
masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui penerimaan
setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan
melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh
kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan
jasa penukaran uang kecil.
Lebih lanjut,
kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah
pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak
lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran
dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta
menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut
dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia atau pihak lain yang
telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu
untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di
masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang
dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran,
uang hasil cetak kurang sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan
pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga
yang dengan pengawasan oleh tim Bank Indonesia (BI).
Sejak dibentuk,
orang-orang yang terpilih sebagai Gubernur BI, sebagai berikut:
·
2013-Sekarang
Agus Martowardojo
·
2010-2013 Darmin
Nasution
·
2009-2010 Darmin
Nasution (Pelaksana tugas)
·
2009 Miranda
Gultom (Pelaksana tugas)
·
2008-2009 Boediono
·
2003-2008 Burhanuddin
Abdullah
·
1998-2003 Syahril
Sabirin
·
1993-1998 Sudrajad
Djiwandono
·
1988-1993 Adrianus
Mooy
·
1983-1988 Arifin
Siregar
·
1973-1983 Rachmat
Saleh
·
1966-1973 Radius
Prawiro
·
1963-1966 T.
Jusuf Muda Dalam
·
1960-1963 Mr.
Soemarno
·
1959-1960 Mr.
Soetikno Slamet
·
1958-1959 Mr.
Loekman Hakim
·
1953-1958 Mr.
Sjafruddin Prawiranegara[10]
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Kusuma, Erwien. 2004. Dari De
Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia : Fragmen Sejarah Bank Sentral di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
[1] http://any.web.id/sejarah-berdirinya-bank-indonesia.info
Diakses pada tanggal 15/04/2016
[2]
http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/pra-bi/
- Bagian I Sejarah Perkembangan
Bank Sentral di Nusantara Diakses pada tanggal
15/04/2016
[3] https://okaardhi.wordpress.com/2010/02/16/sejarah-bank-indonesia/
Diakses pada
tanggal 15/04/2016
[4] Erwien Kusuma, Dari
De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia : Fragmen Sejarah Bank Sentral di
Indonesia, Penerbit Buku Kompas,2004, Jakarta, Hlm. 14 - 15
[5] https://www.scribd.com/doc/81054939/Sejarah-Berdirinya-Bank-Indonesia
Diakses pada tanggal 15/04/2016
[6] https://astri219dhe.wordpress.com/2011/10/27/data-data-ips-ilmu-pengetahuan-sosial/
Diakses pada tanggal 15/04/2016
[7] http://www.kompasiana.com/jessicahrd/sekilas-mengenai-kelembagaan-bank-indonesia_5500f14c813311cb60fa828f
Diakses pada tanggal 15/04/2016
[8] https://www.academia.edu/8953564/Economy_Sejarah_Bank_Indonesia_-_Moneter_Periode_19971999_
Diakses pada tanggal 15/04/2016
[9] https://www.linkedin.com/pulse/sejarah-perbankan-ahmad-noormuhammad
Diakses pada tanggal 15/04/2016
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia
Diakses pada tanggal 15/04/2016